Dalam kehidupan sehari-hari, interaksi antara nasab dan radha’ sudah umum karena mereka biasanya hidup bersama sebagai keluarga.
Namun, hubungan antara mertua dan menantu terkadang dapat menimbulkan rasa canggung. Hal ini mungkin disebabkan oleh interaksi yang baru dan perlu penyesuaian dalam kedekatan mereka.
Meskipun hubungan mertua dan menantu mirip dengan hubungan orang tua dan anak, terkadang muncul situasi di mana ada ketertarikan biologis yang tidak pantas.
Lalu, bagaimana hukum jika keduanya bersentuhan dalam keadaan syahwat? Apakah hal ini dapat membatalkan wudhu?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, penting untuk mengacu pada ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan batalnya wudhu akibat bersentuhan. Dalam QS An-Nisa’ ayat 43 disebutkan:
اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ
Artinya, “Atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapati air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci)”. (QS An-Nisa’: 43).
Imam As-Syafi’i menafsirkan kata ‘lamsu’ sebagai kontak kulit antara laki-laki dan perempuan. Ketentuan ini berlaku bagi orang yang tidak memiliki hubungan kekerabatan, karena ada kemungkinan munculnya rasa nikmat dan potensi syahwat antara mereka.
Sebaliknya, bersentuhan dengan mahram tidak membatalkan wudhu. Syekh Muhammad bin Qasim Al-Ghazi menjelaskan bahwa menyentuh wanita non-mahram, meskipun sudah meninggal, tetap dapat membatalkan wudhu. Oleh karena itu, menyentuh wanita mahram tidak akan membatalkan wudhu.
والرابع لمس الرجل المراة الاجنبية غير المحرم ولو ميتة
Artinya, “Yang keempat adalah menyentuhnya laki-laki pada perempuan lain, yakni wanita selain mahram meskipun telah meninggal.”. (Muhammad bin Qasim Al-Ghazi, Fathul Qarib, [Darul Kutub], halaman 56).
Para ulama memiliki beragam pandangan mengenai mengapa bersentuhan dengan mahram tidak membatalkan wudhu. Beberapa berpendapat bahwa hubungan mahram tidak berpotensi menimbulkan syahwat. Ada juga yang mengatakan bahwa mahram adalah orang yang tidak seharusnya dijadikan objek kenikmatan.
Hukum Menyentuh Sesuatu dalam Keadaan Syahwat
Allah menciptakan syahwat untuk tujuan yang halal, yaitu untuk suami atau istri. Selain pasangan sah, menyentuh atau melihat orang lain dengan niat syahwat adalah haram. Imam Ar-Ramli menyatakan bahwa pandangan yang disertai syahwat terhadap siapapun—baik mahram maupun bukan—adalah haram.
Imam Al-Ramli juga menegaskan bahwa hukum haram untuk bersyahwat juga berlaku untuk benda mati. Oleh karena itu, para ulama melarang melihat atau menyentuh siapa pun jika disertai niatan syahwat.
وَالنَّظَرُ بِشَهْوَةٍ حَرَامٌ قَطْعًا مِنْ كُلِّ مَنْظُورٍ إلَيْهِ مِنْ مَحْرَمٍ وَغَيْرِهِ غَيْرَ زَوْجَتِهِ وَأَمَتِهِ اهـ شؤح م ر
Artinya, “Dan pandangan yang disertai syahwat terhadap setiap hal yang dilihat baik mahram, dan selainnya, selain istri dan budaknya hukumnya haram secara pasti”. (Sulaiman Al-Jamal, Hasyiyah Jamal ‘ala Syarhil Manhaj, [Darul Kutub Al-Islamiyah], juz IV, halaman 122).
Meskipun penjelasan tersebut lebih fokus pada melihat, hukum menyentuh dianggap serupa karena menyentuh memiliki dampak yang lebih signifikan daripada sekadar melihat.
الْمُرَادُ بِالشَّهْوَةِ أَنْ يَكُونَ النَّظَرُ لِقَصْدِ قَضَاءِ وَطَرٍ بِمَعْنَى أَنَّ الشَّخْصَ يُحِبُّ النَّظَرَ إلَى الْوَجْهِ الْجَمِيلِ وَيَلْتَذُّ بِهِ
Artinya, “Yang dimaksud dengan syahwat adalah adanya pandangan bertujuan untuk memenuhi hasrat syahwat, dengan artian orang senang melihat pada wajah yang indah dan merasa nikmat dengannya”. (Khatib As-Syirbini, Mughnil Muhtaj, [Darul Kutub Al-Islamiyah], juz IV, halaman 212).
Imam Al-Subki menjelaskan bahwa syahwat berarti adanya keinginan untuk memenuhi hasrat dengan cara melihat sesuatu yang menarik. Merasa senang tanpa dorongan untuk melakukan tindakan terlarang sudah dianggap sebagai bentuk syahwat yang dilarang.
Status Wudhu saat Menyentuh Mahram dalam Keadaan Syahwat
Seperti dijelaskan sebelumnya, mertua termasuk dalam kategori mahram yang jika disentuh tidak membatalkan wudhu, baik itu mertua kandung maupun mertua melalui radha’. Ini berlaku baik dalam keadaan syahwat maupun tidak. Imam Al-Baghawi menjelaskan:
ولو لمس امرأة من محارمه بنسب او رضاع اوصهرته فقولان اصحهما لا ينتقض وضؤه – الى ان قال – وان قلنا بالاول فلا ينتقض وان كان شهوة كما لو لمس رجل رجلا بشهوة
Artinya, “Jika seorang pria menyentuh wanita dari para mahramnya baik sebab nasab, radha’ atau mushaharah, maka terdapat dua pendapat. Yang paling ashah mengatakan hal tersebut tidak membatalkan wudhu … Jika kita mengikuti pendapat awal ini maka tidak batal wudhu orang yang menyentuh mahramnya meskipun dalam keadaan syahwat, seperti kasus jika pria menyentuh pria lain dalam keadaan syahwat”. (Al-Baghawi, Al-Tahdzib, [Maktabah Al-Mishriyah], juz I, halaman 303).
Alasan mengapa wudhu tidak batal saat menyentuh mahram meskipun dalam keadaan syahwat adalah karena Allah telah menghilangkan potensi syahwat di antara mereka. Jika muncul syahwat di antara mahram, itu dianggap sebagai perasaan yang menyimpang dari naluri manusia yang normal.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa menyentuh mertua meskipun dalam keadaan syahwat tidak membatalkan wudhu. Namun, tindakan tersebut tetap dianggap haram karena melibatkan unsur kenikmatan seksual.
Wallahu a’lam bis shawab.