Bagaimana Menegur Pasangan dalam Islam?

Islam mengatur semua aspek kehidupan manusia, termasuk isu-isu dalam rumah tangga dan hubungan suami-istri.
ads

Suami memiliki tanggung jawab untuk mendidik istrinya, dan ketika istrinya tidak menjalankan tanggung jawabnya sebagai istri, suami harus menasihati, mengarahkan, dan mendisiplinkan istrinya.

Salah satu cara menasihati istri dalam Islam adalah dengan menggunakan pukulan ringan, namun hanya untuk menegur dan tidak menyakitinya. Hal ini biasanya dilakukan setelah dua tahapan sebelumnya: nasihat dan komunikasi yang efektif dengan istri, serta pisah ranjang jika masih mengulangi kesalahan. Baru setelah itu, suami boleh melakukan tindakan memukul yang ringan.

Namun, beberapa orang mungkin salah kaprah tentang apa yang dimaksudkan oleh Islam terkait dengan pukulan ini. Misalnya, beberapa mungkin mengira bahwa Islam membenarkan Kejahatan Domestik Terhadap Wanita (KDRT) dengan memfasilitasi kebolehan suami memukul istri ketika istri tidak menunaikan kewajibannya, seperti yang disebutkan dalam Al-Quran ayat ke-34 surat An-Nisa:

وَٱلَّـٰتِی تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِی ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ فَإِنۡ أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُوا۟ عَلَیۡهِنَّ سَبِیلًاۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِیّا كَبِیرا

“Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi lagi Maha Agung.” (QS An-Nisa: 34).

Ayat di atas merupakan solusi yang diajarkan Islam ketika para istri tidak memenuhi kewajibannya sebagai istri. Namun, perlu dipahami dengan seksama bahwa pukulan di masa itu merupakan media untuk mendidik supaya perbuatannya tidak terulang di kemudian hari. Substansi praktik pukulan ini mungkin sudah tidak berlaku di beberapa daerah modern, namun ada cara lain yang substansi dan tujuannya sama.

Selain itu, konteks memukul dalam ayat tersebut harus dipahami dengan benar. Pukulan hanya boleh dilakukan setelah nasihat dan pisah ranjang, serta pukulannya harus ringan tanpa membuat luka atau menyakitinya. Syekh Wahbah Az-Zuhaili menyebutkan:

وأن يراعي التخفيف لأن المقصود هو الزّجر والتأديب لا الإيلام والإيذاء، كما يفعل بعض الجهلة

“Suami juga harus meringankan pukulan, karena tujuannya adalah untuk menegur dan mendisiplinkan, bukan menyakiti dan mencelakakan, seperti yang dilakukan sebagian orang bodoh.” (Syekh Wahbah Az-Zuhaili, At-Tafsirul Munir, [Beirut: Darul Fikr, 1418], jilid V, halaman 57).

Jelaslah bahwa kebolehan suami memukul istri dalam ayat Al-Quran berbeda dengan KDRT. Apabila kita merujuk kepada UU no. 23 Tahun 2004, KDRT didefinisikan sebagai setiap perbuatan terhadap seseorang—terutama perempuan—yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga.

Melihat definisinya sendiri sungguh berbeda dari praktik memukul yang merupakan bentuk teguran semata.

Teguran kepada wanita yang melakukan nusyuz—melanggar batas perkawinan dan tidak menunaikan kewajibannya—miliki empat tahapan solusi, yakni:

  1. Memberi nasihat dengan komunikasi efektif;
  2. Pisahkan ranjang;
  3. Memukul ringan tanpa membuat luka;
  4. Memediasi dengan memanggil hakim dari kedua belah pihak.

Praktik yang sesuai dengan ayat tersebut adalah suami boleh memukul dengan pukulan yang tidak membuat luka, tujuannya hanya untuk menegur saja seperti menepuk pundak seseorang. Syekh Wahbah Az-Zuhaili mencontohkan:

كالضّرب الخفيف باليد على الكتف ثلاث مرات ، أو بالسواك أو بعود خفيف لأن المقصود منه الصلاح لا غير

“Seperti memukul ringan bahu dengan tangan sebanyak tiga kali, atau dengan siwak atau tongkat ringan, karena niatnya untuk kebaikan, bukan yang lain. (Az-Zuhaili, At-Tafsirul Munir, jilid V, halaman 56).

Bahkan jika terjadi kesalahan dan berlebihan dalam pukulan sehingga menyebabkan luka dan semacamnya, maka suami berkewajiban menanggung pengobatan dan biayanya, sebagaimana keterangan Syekh Wahbah Az-Zuhaili:

وإذا تجاوز الرجل المشروع فأدى الضرب إلى الهلاك وجب الضمان

“Jika seseorang batas syara’ dan pukulan itu menyebabkan kerusakan, maka suami harus bertanggung jawab.” (Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir, jilid V, halaman 57)

Pendekatan seperti memukul ini walaupun dibolehkan oleh syariat sebagai wasilah untuk menegur namun para ulama sepakat bahwa menghindari media semacam ini lebih baik dan utama bagi para suami. Beliau menyebutkan:

ومع أن الضرب مباح فإن العلماء اتّفقوا على أن تركه أفضل

“Meskipun memukul diperbolehkan, namun para ulama sepakat bahwa menghindarinya lebih baik.” (Az-Zuhaili, At-Tafsirul Munir, jilid V, halaman 57).

Kesimpulannya, KDRT beda dengan kebolehan memukul yang merupakan media dan wasilah untuk menegur istri yang nusyuz ketika sudah berulang-ulang mendurhakai suami, acuh tak acuh dan melanggar batas perkawinan serta tidak menunaikan kewajibannya. Pukulan yang dibolehkan pun sebatas ukuran menepuk pundak sedangkan KDRT berimplikasi kepada kekerasan fisik, psikologis, seksual ekonomi dan lain-lain yang justru Islam sangat mengecam dan melarang hal tersebut dilakukan para suami. Wallahu a’lam.

Anda belum terdaftar? Silahkan Register terlebih dahulu disini.

copyright mrbaceh.com @2023 | acehmarket.id

Cek Tanggal Pernikahan